Minggu, 26 Desember 2010

permasalahan tentang kelapa sawit



Tugas Individu

MAKALAH
BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN


Permasalahan dalam Ditribusi Produk Kelapa Sawit








Oleh

MUHAMAD RIDWAN
E 281 08 034














PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2010

I. PENDAHULUAN
Selama bertahun-tahun, kelapa sawit memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa. Disamping memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap devisa negara, perannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2003, total devisa yang dihasilkan industri ini mencapai US$ 2,6 miliar atau 4,3% dari total ekspor Indonesia seluruhnya yang mencapai US$ 61 miliar2. Nilai ekspor ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibanding nilai ekspor 2002 yang mencapai US$ 2,35 miliar (4,11% terhadap total nilai ekspor seluruhnya), maupun nilai ekspor pada 2001 yang mencapai US$ 1,23 miliar (2,18% terhadap total nilai ekspor seluruhnya).
Diantara permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas tanaman, kurangnya dukungan riset/lembaga riset yang memadai untuk pengembangan produksi maupun produk turunannya, kurangnya promosi di pasar internasional, standarisasi dan sertifikasi bibit yang belum sempurna, terbatasnya pabrik pengolahan CPO, dan kurang berkembangnya industri hilir. Dari sisi pemerintah, selain belum memiliki program atau rencana pengembangan yang jelas dan terintegrasi di sub sector kelapa sawit, perannya dalam hal riset, promosi, pemasaran maupun akses ke Negara tujuan ekspor – sebagaimana dilakukan pemerintah Malaysia dengan sangat baik masih dirasakan kurang memadai. Persoalan lain adalah kurang banyaknya pelabuhan ekspor, serta kurang memadainya sarana dan prasarana dari pelabuhan yang ada.
Dari sisi eksternal banyaknya hambatan perdagangan yang dikenakan importir CPO terbesar dunia seperti India, Eropa dan Cina yang membuat aturan-aturan impor yang menyulitkan produsen, seperti bea masuk yang tinggi, pencantuman kandungan lemak jenuh dalam kemasan dan gencarnya promosi minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari sebagai pengganti CPO di negara-negara maju yang dapat mempengaruhi preferensi konsumen terhadap minyak sawit. Meskipun demikian, di sisi lain Indonesia juga memiliki banyak kelebihan dibanding Malaysia sehingga memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk meningkatkan pangsa pasarnya dimasa-masa mendatang, bahkan menggeser posisi Malaysia sebagai produsen CPO nomor satu dunia. Indonesia memiliki cadangan lahan perkebunan yang relatif masih sangat luas untuk perkebunan kelapa sawit yang diperkirakan mencapai lebih dari 9 juta hektar. Sebaliknya Malaysia mulai kehabisan lahan untuk melakukan ekstensifikasi sehingga satu-satunya cara meningkatkan produksi adalah dengan intensifikasi, atau melakukan ekspansi lahan ke luar Malaysia (dalam hal ini ke Indonesia). Kelebihan lainnya adalah biaya produksi kelapa sawit Indonesia yang relatif lebih murah dibanding Malaysia. Menurut catatan GAPKI, pada 1998 biaya produksi CPO Indonesia berkisar antara US$ 135,5 hingga US$ 203 per ton, jauh dibawah Malaysia yang berkisar antara US$ 206,5 hingga US$ 243,5 per ton. Karena itu, dengan pengelolaan yang lebih optimal, peluang Indonesia untuk meningkatkan produksi baik melalui intensifikasi maupun perluasan luas lahan masih sangat besar.


II. PERMASALAHAN
Saat ini, Indonesia merupakan produsen minyak sawit kedua terbesar dunia setelah Malaysia dengan total produksi 9,9 juta ton pada 2003. Padahal, bila dilihat dari potensi luas lahan dan sumberdaya manusia yang tersedia, Indonesia jauh lebih unggul dibanding Malaysia. Masih relatif rendahnya produksi kelapa sawit Indonesia disbanding Malaysia disebabkan berbagai permasalahan dan kurang optimalnya dukungan pemerintah. Diantara permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas tanaman, kurangnya dukungan riset/lembaga riset yang memadai untuk pengembangan produksi maupun produk turunannya, kurangnya promosi di pasar internasional, standarisasi dan sertifikasi bibit yang belum sempurna, terbatasnya pabrik pengolahan CPO, dan kurang berkembangnya industri hilir. Dari sisi pemerintah, selain belum memiliki program atau rencana pengembangan yang jelas dan terintegrasi di sub sektor kelapa sawit, perannya dalam hal riset, promosi, pemasaran maupun akses ke Negara tujuan ekspor – sebagaimana dilakukan pemerintah Malaysia dengan sangat baik masih dirasakan kurang memadai. Persoalan lain adalah kurang banyaknya pelabuhan ekspor, serta kurang memadainya sarana dan prasarana dari pelabuhan yang ada.




III. PEMBAHASAN
Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Pertumbuhan luas areal yang pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata lebih dari 200 ribu hektar setiap tahunnya.
Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5%.Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Pertumbuhan luas areal yang pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata lebih dari 200 ribu hektar setiap tahunnya. Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5%.Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Pertumbuhan luas areal yang pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata lebih dari 200 ribu hektar setiap tahunnya. Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5%.
Dilihat dari status kepemilikannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia terdiri dari Perkebunan Negara, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat. Pada 2000,perkebunan swasta menguasai 51% dari luas areal perkebunan, perkebunan Negara 16%, dan perkebunan rakyat 33%. Perkebunan rakyat terkonsentrasi pada 4 propinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Perkebunan milik Negara (PTP) terkonsentrasi di Sumatera Utara, dan perkebunan swasta terkonsentrasi di Riau, Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Selatan. Tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit Indonesia bervariasi menurut jenis pemilikan. Menurut Departemen Pertanian, pada umumnya tingkat produktivitas perkebunan rakyat paling rendah dibandingkan perkebunan negara dan perkebunan swasta. Diperkirakan, produktivitas perkebunan rakyat hanya mencapai rata-rata 2,5 ton CPO per ha dan 0,33 ton minyak inti sawit (PKO) per ha. Ini disebabkan kurangnya perawatan perkebunan tersebut. Sementara itu, perkebunan negara memiliki produktivitas tertinggi, yakni rata-rata menghasilkan 4,82 ton CPO per hektar dan 0,91 ton PKO per hektar. Sedangkan perkebunan swasta rata-rata menghasilkan 3,48 ton CPO per hektar dan 0,57 ton PKO per hektar.
Tingkat produktivitas rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga relative lebih rendah dibandingkan Malaysia. Menurut GAPKI, produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia baru mencapai angka 3.1 juta ton per hektar, sementara Malaysia telah mencapai 3.6 juta ton per hektar. Relatif rendahnya tingkat produktivitas kelapa sawit Indonesia diantaranya disebabkan sebagian besar tanaman masih muda usianya, tidak terpenuhinya baku kultur bibit, pencurian buah, serta kelangkaan pupuk dan tingginya harga pupuk.
Luas lahan yang tersedia untuk pengembangan kelapa sawit masih sangat luas. Pemerintah sendiri pada 2001 telah menyediakan 9,13 juta hektar di Indonesia bagian Timur untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Lokasi lahan yang disediakan terletak di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Maluku dan Sulawesi Tenggara. Dari luas lahan yang tersedia tersebut baru 2.79% atau 255 ribu hektar lahan yang telah dimanfaatkan. Hingga saat ini, terdapat tiga perusahaan penghasil benih kelapa sawit bersertifikat di Indonesia, yakni PT. London Sumatera Indonesia, PT. Socfindo, dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang berlokasi di Medan, dengan total kapasitas produksi 80 juta bibit sawit per tahun. Namun demikian, karena banyaknya jumlah bibit palsu yang beredar – Direktorat Jenderal Perkebunan memperkirakan jumlah bibit palsu mencapai 40% dari total bibit yang beredar – permintaan terhadap benih bersertifikasi cenderung menurun, khususnya dari perkebunan rakyat. Sebagai gambaran, pada 2001 penjualan benih kelapa swait bersertfikat mencapai 20,5 juta, namun pada 2002 merosot tajam menjadi 13,6 juta benih3. Sejalan dengan peningkatan luas areal, produksi CPO Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan selama lima tahun terakhir. Lonjakan produksi yang cukup tajam terjadi pada kurun waktu 1999-2001 yang meningkat dari 6 juta ton menjadi 9 juta ton. Produsen CPO terbesar adalah Sumatera Utara yang memberikan kontribusi lebih dari 4,5 juta ton CPO atau sekitar 50% dari total produksi CPO nasional. Saat ini terdapat enam pemain terbesar bisnis CPO yang menguasai lebih dari 50% areal perkebunan kelapa sawit, yakni PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) – yang terdiri dari 9 PTPN -- Sinar Mas, Raja Garuda Mas, Astra Agro Lestari, Minamas Plantation (Kelompok Guthrie Berhad asal Malaysia), dan Indofood Tbk.
Menurut National Distribution Network, saat ini terdapat sekitar 80 perusahaan penyulingan minyak goreng sawit di Indonesia yang tersebar di 11 propinsi di Sumatera, Jawa dan Kalimantan dengan total kapasitas produksi 7,79 juta ton per tahun. Sebesar 62% diantaranya (4,8 juta ton) dikuasai oleh 7 grup produsen yakni Hasil Karsa, MusimMas, Sinar Mas, Karya Prajona Nelayan, Raja Garuda Mas, dan Sungai Budi. Pada industri margarine dan shortening, CPO memberikan kontribusi sekitar 80% terhadap komponen bahan baku. Sementara pada industri sabun cuci CPO memberikan kontribusi sebesar 20% dan sabun mandi 80%. Pada saat ini terdapat paling tidak 17 industri margarine dan shortening di Indonesia. Meskipun penggunaan CPO untuk industri sabun masih relatif kecil, penggunaannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Produk oleochemical yang diolah dari CPO terdiri dari Fatty Acid, Fatty Alkohol, Glyserine dan Stearic Acid. Produk ini memiliki kegunaan yang sangat luas untuk berbagai industri, seperti pembuatan deterjen, personal care, farmasi, industri PVC, pelumas pada industri tekstil, dan lain-lain. Dibanding CPO, produk oleokimia memiliki Margarine, Oleohemical, 1.60% 6.80% Ekspor, 60% Sabun, 2% Minyak Goreng, 29.60% 6 nilai tambah lebih tinggi dan harga yang lebih stabil. Harga CPO berfluktuasi antara US$ 250 sampai dengan US$ 500 per ton, sedang harga produk oleokimia bisa mencapai hingga US$ 1000 per ton. Namun demikian, penggunaan CPO untuk industri ini masih relatif rendah (sekitar 6,8%) karena kurang berkembangnya industri ini di dalam negeri. Saat ini, menurut Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI), Indonesia baru memiliki 7 perusahaan oleochemical yang menggunakan 6,8% produksi CPOnya, dengan total produksi 609 ribu ton pada 2002. Bandingkan dengan Malaysia yang telah memiliki 22 pabrik oleochemical (dan telah merencanakan penambahan 19 buah pabrik lagi) dengan total produksi 1,7 juta ton per tahun – yang menggunakan 20% hasil CPOnya. Disamping itu, produk oleochemical di Indonesia masih berupa produk sampingan sedang di Malaysia sudah menjadi produk utama. Diantara perusahaan yang bergerak di bidang produk oleochemical adalah PT. Cisadane Raya Chemical, PT. Sumiasih Oleochemical, PT. Sinar Oleochemical (Sinar Mas Group), PT. Ecogreen Oleochemical, dan PT Flora Sawita Chemindo. Dimasa mendatang, konsumsi CPO di dalam negeri diperkirakan akan terus mengalami peningkatan dan mencapai 5,6 juta ton pada 2010. Penggunaan terbesar pada industri minyak goreng (51%), diikuti industri margarine dan shortening (37%), Oleochemical (8%), industri sabun mandi (3%) dan industri sabun cuci (1%).
Volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia cenderung meningkat sejak 1999 setelah mengalami penurunan yang cukup tajam pada 1998. Pada 2003, volume ekspor mencapai 6,38 juta ton, meningkat 136% dibanding 1999 yang mencapai 3,3 juta ton. Ini diikuti peningkatan nilai ekspor sebesar 93%, yakni dari US$ 1,1 miliar menjadi US$ 2,6 miliar. Ekspor minyak sawit Indonesia ditujukan ke 123 negara. Pada 2002, volume ekspor terbesar ke India dengan kontribusi 28% (1,8 juta ton), diikuti Belanda 17% (1,1 juta ton), Cina 8% (483 ribu ton), dan Malaysia serta Singapura masing-masing sebesar 6%. Kelima negara ini secara bersama-sama menyerap sekitar 65% dari total ekspor minyak kelapa sawit Indonesia. Pada 2004, ekspor ke India diperkirakan akan menurun, karena adanya ketentuan Pemerintah India yang mensyaratkan kandungan betta carotene minimal 500 part per million (ppm) , sedang kandungan betta carotene CPO dari Indonesia sekitar 450 ppm. Persyaratan tersebut menyebabkan banyaknya CPO yang tertahan di pelabuhan. Namun, pada tahun berikutnya diharapkan ekspor ke India kembali meningkat menyusul 7 ditundanya pemberlakuan ketentuan tersebut oleh pemerintah India setelah pemerintah RI meminta klarifikasi dan penjelasan mengenai kebijakan tersebut. Sebaliknya, peluang ekspor ke Cina pada 2004 diperkirakan meningkat sekitar 10 hingga 15%. Dengan konsumsi minyak goreng per kapita 10-12 kg per tahun, dan jumlah penduduk 1,4 milyar jiwa, kebutuhan minyak goreng Cina diperkirakan mencapai 14 juta ton setiap tahunnya. Jumlah tersebut belum termasuk untuk keperluan industri. Saat ini, sebagian besar kebutuhan minyak sawit Cina dipasok dari Malaysia. Total ekspor Indonesia ke Cina pada 2004 ditargetkan mencapai 600 ribu ton. Harga CPO di pasar internasional sangat berfluktuasi. Pada 1999 misalnya, harga CPO melonjak hingga US$ 700 per ton, namun kembali merosot tajam pada 2001 menjadi US$ 276 per ton. Sementara pada 2004, harga CPO cenderung meningkat dengan harga yang cukup menggairahkan, berkisar pada US$ 400 hingga US$ 550 per ton. Ini disebabkan menurunnya produksi minyak kedelai, tingginya tingkat permintaan dari Cina dan India, serta produksi minyak sawit Malaysia yang cenderung flat. Pada 2010, diperkirakan volume ekspor CPO Indonesia akan mencapai 4,5 juta ton, sedangkan ekspor turunan lainnya mencapai 5,6 juta ton sehingga proyeksi kebutuhan CPO untuk ekspor pada tahun 2010 adalah 10,1 juta ton.












DAFTAR PUSTAKA
Prasetyani Martha dan Miranti Ermina. 2009. Potensi dan Prospek Bisnis Kelapa Sawit Indonesia. http://serikatpetanikelapasawit.blogspot.com/2009/10/potensi.html. Diakses Kamis, 16 Desember 2010

Anonim. 2009. Sawit Masih Terjebak Masalah Klasik. bataviase.co.id/content/sawit. Diakses Kamis, 16 Desember 2010

Selasa, 21 Desember 2010

bioteknologi

I. PENDAHULUAN
Bioteknologi sebagai sebuah alat menawarkan peluang terobosan di dalam memecahkan persoalan kultur teknis tanaman dan kesehatan yang tidak dapat atau terlalu mahal dan/atau terlalu lama diselesaikan dengan menggunakan teknologi konvensional. Keunggulan teknologi berbasis hayati ini terletak pada fokus penanganan masalah yang bersifat mikro di tingkat sel atau molekuler, sehingga waktunya relatif pendek dan hasilnya dapat diprediksikan. Bioteknologi memiliki gradien dari yang terendah yaitu bioteknologi tradisional berupa pemanfaatan mikroba, hingga bioteknologi modern seperti rekayasa genetika. Kompleksitas yang beragam ini harus diupayakan menjadi sederhana ketika teknologi disampaikan ke pengguna, khususnya petani di pedesaan. Pemanfaatan teknologi ini oleh petani di pedesaan akan lebih memperkokoh fondasi agribisnis yang berdaya saing kuat, sehingga memacu terbangunnya komunitas petani dengan kapasitas techno-preneurship yang tinggi. Makalah ini menyajikan konsepsi bioteknologi yang dapat diterapkan di pedesaan guna memfasilitasi kebangkitan sistem pertanian progresif (berkelanjutan). Beberapa contoh proses dan/atau produk bioteknologi disajikan sebagai ilustrasi tentang prospek dari aplikasi bioteknologi di pedesaan.
Indonesia merupakan negara agraris yang menitik-beratkan pembangunannya pada sektor pertanian. Namun, sangat ironis sekali bahwa berdasarkan data dari BPS (Biro Pusat Statistik) hingga saat ini Indonesia masih mengimpor beras, bahkan pernah mencapai volume 5,8 juta ton. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi negara agraris pengimpor beras terbesar di dunia. Peningkatan volume impor produk-produk pertanian lainnya juga mengalami peningkatan. Impor jagung misalnya dari 298.236 ton (1998), 591.056 ton (20% dari kebutuhan, 1999) menjadi 1.199.322 ton (60% dari kebutuhan, 2000). Impor gandum sebesar 3,58 juta ton, kedelai sebesar 1,27 juta ton, gula pasir sebesar 1,7 juta ton. Data BPS juga menunjukkan bahwa pada tahun 2001 Indonesia mengimpor 0,8 juta ton kacang tanah, 0,3 juta ton kacang hijau, bahkan 0,9 juta ton gaplek.
Ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas pertanian Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bappenas (2002) salah satu penyebabnya adalah berkurangnya lahan pertanian di Indonesia. Luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 1983 adalah seluas 16,7 juta ha, pada tahun 2002 luas sawah menyusut menjadi seluas 14 juta ha. Dalam periode tahun 1990 – 1995 konversi lahan subur di Pulau Jawa mencapai 10.000 ha per tahun. Penyebab lain menurut Adi (2003) adalah menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida, dan pencemaran logam berat. Penurunan produktivitas pertanian Indonesia berbanding terbalik dengan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Apabila kondisi tersebut di atas tidak mengalami perbaikan yang signifikan, Bappenas (2002) memperkirakan pada tahun 2010 Indonesia akan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton.
Produsen pertanian adalah petani di pedesaan, sedangkan konsumennya sebagian besar adalah masyarakat di perkotaan. Karena Revolusi Hijau dianggap memiliki dampak buruk bagi kualitas bumi, maka menurut pandangan masyarakat berteknologi maju bioteknologi dianggap dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatan produksi dan kualitas pertanian di pedesaan. Makalah ini menyajikan secara ringkas peluang aplikasi bioteknologi pertanian di pedesaan untuk meningkatkan efisiensi agribisnis yang berkelanjutan.















II. PERMASALAHAN
Di zaman yang serba cepat dan mengharuskan segala sistem yang begitu cepat pula karena didukung oleh populasi menusia yang sangat cepat pula hal itu berimbas pada dunia pertanian. Sebagai yang utama dalam masalah hidup ini menuntut sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan populasi manusia yang tidak terbendung secara cepat dan bagus tidak hanya kuantitas tetapi kualitasnya juga. Dari hal-hal seperti itulah bioteknologi di bidang pertanian berusaha untuk menjawab tantangan itu.
Selama kurang lebih empat dasawarsa terakhir, kita melihat begitu pesat perkembangan bioteknologi di berbagai bidang. Pesatnya perkembangan bioteknologi ini sejalan dengan tingkat kebutuhan manusia dimuka bumi. Hal ini dapat dipahami mengingat bioteknologi menjanjikan suatu revolusi pada hampir semua aspek kehidupan manusia, mulai dari bidang pertanian, peternakan dan perikanan hingga kesehatan dan pengobatan.
Bioteknologi memperlihatkan suatu rangkaian yang mengagumkan dari berbagai disiplin ilmu seperti mikrobiologi, anatomi tumbuhan dan hewan, biokimia, imunologi, biologi sel, fisiologi tumbuhan dan hewan, morfogenesis, aekologi, genetika dan banyak lagi lainnya.peranan biologi yang baru didapat ini telah memberikan sumbangan teramat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan umat manusia.














III. PEMBAHASAN
Rifai (2001) mengatakan, penggunaan bioteknologi untuk menciptakan kultivar unggul seperti tanaman padi dan tanaman semusim sangat berguna untuk pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Karenanya, pengembangan bioteknologi diberbagai bidang perlu mendapat perhatian serius. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri akibat ketertinggalan negara kita mengembangkan bioteknologi adalah dimanfaatkannya plasma nutfah negara kita oleh negara lain. Durian bangkok dan mangga berwarna keunguan dari Australia adalah sebagian kecil contohnya.
Bioteknologi seperti transgenik dalam bidang pertanian pada dasarnya telah mulai dikembangkan, namun penolakan-penolakan dari berbagai pihak menyebabkan teknologi ini tidak pesat perkembangannya. Tanaman-tanaman pertanian yang telah berhasil meningkatkan produksi dan kualitas melalui transgenik antara lain kapas, jagung, dan lain-lain.
Pro dan kontra penggunaan tanaman transgenik ramai dibicarakan diberbagai media massa. Salah satu contohnya adalah kapas transgenik. Pihak yang pro, terutama para petinggi dan wakil petani yang tahu betul hasil uji coba di lapangan memandang kapas transgenik sebagai mimpi yang dapat membuat kenyataan, sedangkan Pihak yang kontra, sangat ekstrim mengungkapkan berbagai bahaya hipotetik tanaman transgenik (Tajudin, 2001).
Selain kapas, Setyarini (2000) memaparkan tentang kontroversi penggunaan tanaman jagung yang telah direkayasa secara genetik untuk pakan unggas. Kekhawatiran yang muncul adalah produk akhir unggas Indonesia akan mengandung genetically modified organism ( GMO ). Masalah lain yang menjadi kekhawatiran berbagai pihak adalah potensinya dalam mengganggu keseimbangan lingkungan antara lain serbuk sari jagung dialam bebas dapat mengawini gulma-gulma liar, sehingga menghasilkan gulma unggul yang sulit dibasmi. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang pro mengatakan bahwa dengan jagung transgenik selain akan mempercepat swa sembada jagung, manfaat lain adalah jagung yang dihasilkan mempunyai kualitas yang hebat, kebal terhadap serangan hama sehingga petani tidak perlu menyemprot pestisida (W.Marlene Nalley.2001).

Pendekatan Biologi Molekuler untuk mengatasi Krisis Pangan

Penggunaan marka molekuler (penanda molekuler) untuk menyeleksi sifat yang diinginkan dari keturunan hasil persilangan dengan pelacakan sifat-sifat tanaman berdasarkan DNA yang dimiliki tanaman akan mempercepat proses tersebut. Salah satu kelebihan dari metode ini adalah mempersingkat pengujian tanaman. Jika dengan cara konvensional diperlukan waktu sedikitnya lima tahun, dengan cara ini hanya diperlukan waktu paling lama tiga tahun. Dengan marka molekuler, pada generasi ketiga tanaman hasil persilangan sudah stabil.
Pada tanaman jagung marka molekuler digunakan untuk mengetahui jarak genetik (hubungan kekerabatan) jagung. Dengan begitu, para pemulia menjadi lebih mudah dalam melakukan persilangan. Selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah perlindungan terhadap sumber genetik pertanian Indonesia dari ancaman kepunahan. Oleh karena itu, kegiatan konservasi dengan mendirikan laboratorium Bank Genetik sangat diperlukan. Dan tentu saja, hal itu akan lebih baik jika dilakukan tidak hanya oleh Balitbiogen saja (Anonymous, 2003).
Rekayasa genetika dalam bidang tanaman dilakukan dengan mentransfer gen asing ke dalam tanaman. Hasil rekayasa genetika pada tanaman seperti ini disebut tanaman transgenik. Sudah diperoleh beberapa tanaman transgenik yang toleran terhadap salinitas, kekeringan dan hama penyakit
( Nasution, Muhammad Arif. 2002).
• Tanaman Transgenik Toleran salin
Dengan teknologi kultur jaringan telah dapat dikembangkan tanaman transgenik toleran salin. Rekayasa genetika mentransfer gen dari padi liar yang toleran terhadap salin ke padi yang biasa digunakan sebagai bahan pangan melalui fusi protoplasma. Dapat juga ditransfer dari sejenis jamur yang tahan salin kepada tanaman yang akan dijadikan tanaman transgenik. Beberapa tomat, melon, dan barley transgenik yang toleran dengan salin (New Scientist, 1997 dalam Sitepoe,2001)
• Tanaman Transgenik Tahan Kekeringan
Tanaman tahan kekeringan memiliki akar yang sanggup menembus tanah kering, kutikula yang tebal mengurangi kehilangan air, dan kesanggupan menyesuaikan diri dengan garam di dalam sel. Tanaman toleran terhadap kekeringan ditransfer dari gen kapang yang mengeluarkan enzim trehalose. Tembakau salah satutanaman transgenik yang dapat toleran dengan suasana kekeringan (Guardian Online, 1997 dalam Sitepoe, 2001).
• Tanaman Transgenik Resisten Hama
Bacillus thuringiensis menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri membentuk spora. Dalam bentuk spora berat toksin 20% dari berat badan spora. Apabila larva insek memakan spora maka di dalam alat pencernaan larva insek, spora bakteri dipecah dan keluarlah toksin. Toksin masuk ke dalam membran sel alat pencernaan larva, mengakibatkan alat pencernaan mengalami paralisis, pakan tidak dapat diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus thuringiensis kemudian diektrak dan dimurnikan maka akan diperoleh insektisida biologis (biopestisida) dalam bentuk kristal. Insektisida biologis serupa saja aplikasinya maupun untung ruginya dengan insektisida kimia lainnya. Oleh karena itu, pada tahun 1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus thuringiensis dengan kode gen Bt toksin (Feitelson et al, 1992).
Tanaman tembakau untuk pertama kali merupakan tanaman transgenic pertama yang menggunakan gen Bt toksin, disusul famili tembakau, yaitu tomat dan kentang. Dengan sinar ultraviolet gen penghasil insektisida pada tanaman dapat diinaktifkan (Lal and Lal, 1990). Jagung juga telah direkayasa dengan menggunakan gen Bt toksin, tetapi diintegrasikan dengan plasmid bakteri Salmonella parathypi, yang menghasilkan gen yang menonaktifkan ampicillin. Pada jagung juga direkayasa adanya resistensi herhisida dan resistensi insektisida sehingga tanaman transgenik jagung memiliki berbagai jenis resistensi hama tanaman. Bt toksin gen juga direkayasa ke tanaman kapas bahkan multiple-gene dapat direkayasa genetika pada tanaman transgenik. Toksin yang diproduksi dengan tanaman transgenik menjadi nonaktif apabila terkena sinar matahari, khususnya sinar ultraviolet (Sumber: Nottingham S, 1998).
Sejumlah tanaman transgenik toksin Bt telah berhasil diproduksi, antara lain kapas (Bt toksin terhadap cutton boll worm, produksi Monsanto, St. Louis, Missouri, Amerika Serikat; kini diuji coba secara terbatas di Sulawesi Selatan), kentang (Bt toksin terhadap Colorado bettle, produksi Mycogen, San Diego, California, Amerika Serikat), jagung (Bt toksin terhadap pengerek batang European, produksi Ciba Seed, Greensboro, California Utara, Amerika Serikat (Nasir, 2002).

• Tanaman Transgenik Resisten Penyakit
Dalam percobaan kloning “Bintje” yang mengandung gen thionin dari daun barli (DB4) yang memakai promoter 35S cauliflower mosaic virus (CaMV), dengan mengikutsertakan Bintje tipe liar yang sangat peka terhadap serangan Phytophthora infestans sebagai kontrol, menunjukkan bahwa klon “Bintje” dapat mengekspresikan gen DB4. Jumlah sporangium setiap nekrosa yang disebabkan oleh P. infestans mengalami penurunan lebih dari 55% jika dibandingkan dengan tipe liar. Pendekatan ini sangat bermanfaat untuk menekan perkembangbiakan P. infestans sehingga kerugian secara ekonomi dapat direduksi.
Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi pada usaha untuk memproduksi tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Dengan memasukkan gen penyandi protein selubung {coat protein) Johnsongrass mosaic potyvirus (JGMV) ke dalam suatu tanaman diharapkan tanaman tersebut menjadi resisten apabila diserang oleh virus yang bersangkutan. Potongan cDNA dari JGMV, misalnya dari protein selubung dan protein nuclear inclusion body (Nib) dengan kontrol promotor 35S CaMV, mampu diintegrasikan pada tanaman jagung dan diharapkan akan dihasilkan jagung transgenik yang bebas dari serangan virus.
Hal serupa juga sedang digalakkan dengan rekayasa genetika pada tanaman padi-padian untuk mendapatkan varietas yang resisten terhadap virus padi. Di samping itu, usaha untuk meningkatkan kualitas beras seperti yang diinginkan oleh manusia juga sedang diusahakan. Jepang memberikan investasi yang cukup besaruntuk penelitian dan pengembangan di bidang biologi molekul padi.
• Kultur jaringan
Juga tak kalah pentingnya teknologi kultur jaringan yang merupakan kemajuan besar dalam bidang pertanian. Kultur jaringan adalah pembuatan bibit dan perbanyakannya menggunakan permainan komposisi media. Yang digunakan bisa segala sumber organ tumbuhan mulai dari biji, daun, tunas, dsb jadi lebih luas dari teknologi pembibitan konvensial dengan stek. Yang dimanipulasi adalah sel penyusun organ itu untuk berubah menjadi tanaman sempurna melalui hormon-hormon dalam media yang digunakan. Jadi ini adalah bioteknologi tingkat tua, bukan bioteknologi modern.
Kultur jaringan tanaman merupakan teknik in vitro (dalam gelas) yang merupakan cara untuk memperbanyak tanaamn dengan pengambilan bagian tanaman yang mempunyai titik tumbuhnya. Contoh sederhana pada pisang, bila di ambil cambium atau ujun-ujung akarnya, lalau di perlakukan dalam gelas dalam laboratorium, kemudian bagian itu akan membelah sendiri dan setiap belahanya akan menghsilkan tanaman baru. Intinya asalakan pada tanaman itu ada titi tumbuh atau yang disebut jaringan meristematik, tanaman tersebut bias diperbanyak. Bayankan kalau ini sudah menyeluruh skala nasioanl perbanyak tanaman secara cepar mungkin saja dilakukan.