Selasa, 21 Desember 2010

bioteknologi

I. PENDAHULUAN
Bioteknologi sebagai sebuah alat menawarkan peluang terobosan di dalam memecahkan persoalan kultur teknis tanaman dan kesehatan yang tidak dapat atau terlalu mahal dan/atau terlalu lama diselesaikan dengan menggunakan teknologi konvensional. Keunggulan teknologi berbasis hayati ini terletak pada fokus penanganan masalah yang bersifat mikro di tingkat sel atau molekuler, sehingga waktunya relatif pendek dan hasilnya dapat diprediksikan. Bioteknologi memiliki gradien dari yang terendah yaitu bioteknologi tradisional berupa pemanfaatan mikroba, hingga bioteknologi modern seperti rekayasa genetika. Kompleksitas yang beragam ini harus diupayakan menjadi sederhana ketika teknologi disampaikan ke pengguna, khususnya petani di pedesaan. Pemanfaatan teknologi ini oleh petani di pedesaan akan lebih memperkokoh fondasi agribisnis yang berdaya saing kuat, sehingga memacu terbangunnya komunitas petani dengan kapasitas techno-preneurship yang tinggi. Makalah ini menyajikan konsepsi bioteknologi yang dapat diterapkan di pedesaan guna memfasilitasi kebangkitan sistem pertanian progresif (berkelanjutan). Beberapa contoh proses dan/atau produk bioteknologi disajikan sebagai ilustrasi tentang prospek dari aplikasi bioteknologi di pedesaan.
Indonesia merupakan negara agraris yang menitik-beratkan pembangunannya pada sektor pertanian. Namun, sangat ironis sekali bahwa berdasarkan data dari BPS (Biro Pusat Statistik) hingga saat ini Indonesia masih mengimpor beras, bahkan pernah mencapai volume 5,8 juta ton. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi negara agraris pengimpor beras terbesar di dunia. Peningkatan volume impor produk-produk pertanian lainnya juga mengalami peningkatan. Impor jagung misalnya dari 298.236 ton (1998), 591.056 ton (20% dari kebutuhan, 1999) menjadi 1.199.322 ton (60% dari kebutuhan, 2000). Impor gandum sebesar 3,58 juta ton, kedelai sebesar 1,27 juta ton, gula pasir sebesar 1,7 juta ton. Data BPS juga menunjukkan bahwa pada tahun 2001 Indonesia mengimpor 0,8 juta ton kacang tanah, 0,3 juta ton kacang hijau, bahkan 0,9 juta ton gaplek.
Ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas pertanian Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bappenas (2002) salah satu penyebabnya adalah berkurangnya lahan pertanian di Indonesia. Luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 1983 adalah seluas 16,7 juta ha, pada tahun 2002 luas sawah menyusut menjadi seluas 14 juta ha. Dalam periode tahun 1990 – 1995 konversi lahan subur di Pulau Jawa mencapai 10.000 ha per tahun. Penyebab lain menurut Adi (2003) adalah menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida, dan pencemaran logam berat. Penurunan produktivitas pertanian Indonesia berbanding terbalik dengan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Apabila kondisi tersebut di atas tidak mengalami perbaikan yang signifikan, Bappenas (2002) memperkirakan pada tahun 2010 Indonesia akan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton.
Produsen pertanian adalah petani di pedesaan, sedangkan konsumennya sebagian besar adalah masyarakat di perkotaan. Karena Revolusi Hijau dianggap memiliki dampak buruk bagi kualitas bumi, maka menurut pandangan masyarakat berteknologi maju bioteknologi dianggap dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatan produksi dan kualitas pertanian di pedesaan. Makalah ini menyajikan secara ringkas peluang aplikasi bioteknologi pertanian di pedesaan untuk meningkatkan efisiensi agribisnis yang berkelanjutan.















II. PERMASALAHAN
Di zaman yang serba cepat dan mengharuskan segala sistem yang begitu cepat pula karena didukung oleh populasi menusia yang sangat cepat pula hal itu berimbas pada dunia pertanian. Sebagai yang utama dalam masalah hidup ini menuntut sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan populasi manusia yang tidak terbendung secara cepat dan bagus tidak hanya kuantitas tetapi kualitasnya juga. Dari hal-hal seperti itulah bioteknologi di bidang pertanian berusaha untuk menjawab tantangan itu.
Selama kurang lebih empat dasawarsa terakhir, kita melihat begitu pesat perkembangan bioteknologi di berbagai bidang. Pesatnya perkembangan bioteknologi ini sejalan dengan tingkat kebutuhan manusia dimuka bumi. Hal ini dapat dipahami mengingat bioteknologi menjanjikan suatu revolusi pada hampir semua aspek kehidupan manusia, mulai dari bidang pertanian, peternakan dan perikanan hingga kesehatan dan pengobatan.
Bioteknologi memperlihatkan suatu rangkaian yang mengagumkan dari berbagai disiplin ilmu seperti mikrobiologi, anatomi tumbuhan dan hewan, biokimia, imunologi, biologi sel, fisiologi tumbuhan dan hewan, morfogenesis, aekologi, genetika dan banyak lagi lainnya.peranan biologi yang baru didapat ini telah memberikan sumbangan teramat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan umat manusia.














III. PEMBAHASAN
Rifai (2001) mengatakan, penggunaan bioteknologi untuk menciptakan kultivar unggul seperti tanaman padi dan tanaman semusim sangat berguna untuk pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Karenanya, pengembangan bioteknologi diberbagai bidang perlu mendapat perhatian serius. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri akibat ketertinggalan negara kita mengembangkan bioteknologi adalah dimanfaatkannya plasma nutfah negara kita oleh negara lain. Durian bangkok dan mangga berwarna keunguan dari Australia adalah sebagian kecil contohnya.
Bioteknologi seperti transgenik dalam bidang pertanian pada dasarnya telah mulai dikembangkan, namun penolakan-penolakan dari berbagai pihak menyebabkan teknologi ini tidak pesat perkembangannya. Tanaman-tanaman pertanian yang telah berhasil meningkatkan produksi dan kualitas melalui transgenik antara lain kapas, jagung, dan lain-lain.
Pro dan kontra penggunaan tanaman transgenik ramai dibicarakan diberbagai media massa. Salah satu contohnya adalah kapas transgenik. Pihak yang pro, terutama para petinggi dan wakil petani yang tahu betul hasil uji coba di lapangan memandang kapas transgenik sebagai mimpi yang dapat membuat kenyataan, sedangkan Pihak yang kontra, sangat ekstrim mengungkapkan berbagai bahaya hipotetik tanaman transgenik (Tajudin, 2001).
Selain kapas, Setyarini (2000) memaparkan tentang kontroversi penggunaan tanaman jagung yang telah direkayasa secara genetik untuk pakan unggas. Kekhawatiran yang muncul adalah produk akhir unggas Indonesia akan mengandung genetically modified organism ( GMO ). Masalah lain yang menjadi kekhawatiran berbagai pihak adalah potensinya dalam mengganggu keseimbangan lingkungan antara lain serbuk sari jagung dialam bebas dapat mengawini gulma-gulma liar, sehingga menghasilkan gulma unggul yang sulit dibasmi. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang pro mengatakan bahwa dengan jagung transgenik selain akan mempercepat swa sembada jagung, manfaat lain adalah jagung yang dihasilkan mempunyai kualitas yang hebat, kebal terhadap serangan hama sehingga petani tidak perlu menyemprot pestisida (W.Marlene Nalley.2001).

Pendekatan Biologi Molekuler untuk mengatasi Krisis Pangan

Penggunaan marka molekuler (penanda molekuler) untuk menyeleksi sifat yang diinginkan dari keturunan hasil persilangan dengan pelacakan sifat-sifat tanaman berdasarkan DNA yang dimiliki tanaman akan mempercepat proses tersebut. Salah satu kelebihan dari metode ini adalah mempersingkat pengujian tanaman. Jika dengan cara konvensional diperlukan waktu sedikitnya lima tahun, dengan cara ini hanya diperlukan waktu paling lama tiga tahun. Dengan marka molekuler, pada generasi ketiga tanaman hasil persilangan sudah stabil.
Pada tanaman jagung marka molekuler digunakan untuk mengetahui jarak genetik (hubungan kekerabatan) jagung. Dengan begitu, para pemulia menjadi lebih mudah dalam melakukan persilangan. Selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah perlindungan terhadap sumber genetik pertanian Indonesia dari ancaman kepunahan. Oleh karena itu, kegiatan konservasi dengan mendirikan laboratorium Bank Genetik sangat diperlukan. Dan tentu saja, hal itu akan lebih baik jika dilakukan tidak hanya oleh Balitbiogen saja (Anonymous, 2003).
Rekayasa genetika dalam bidang tanaman dilakukan dengan mentransfer gen asing ke dalam tanaman. Hasil rekayasa genetika pada tanaman seperti ini disebut tanaman transgenik. Sudah diperoleh beberapa tanaman transgenik yang toleran terhadap salinitas, kekeringan dan hama penyakit
( Nasution, Muhammad Arif. 2002).
• Tanaman Transgenik Toleran salin
Dengan teknologi kultur jaringan telah dapat dikembangkan tanaman transgenik toleran salin. Rekayasa genetika mentransfer gen dari padi liar yang toleran terhadap salin ke padi yang biasa digunakan sebagai bahan pangan melalui fusi protoplasma. Dapat juga ditransfer dari sejenis jamur yang tahan salin kepada tanaman yang akan dijadikan tanaman transgenik. Beberapa tomat, melon, dan barley transgenik yang toleran dengan salin (New Scientist, 1997 dalam Sitepoe,2001)
• Tanaman Transgenik Tahan Kekeringan
Tanaman tahan kekeringan memiliki akar yang sanggup menembus tanah kering, kutikula yang tebal mengurangi kehilangan air, dan kesanggupan menyesuaikan diri dengan garam di dalam sel. Tanaman toleran terhadap kekeringan ditransfer dari gen kapang yang mengeluarkan enzim trehalose. Tembakau salah satutanaman transgenik yang dapat toleran dengan suasana kekeringan (Guardian Online, 1997 dalam Sitepoe, 2001).
• Tanaman Transgenik Resisten Hama
Bacillus thuringiensis menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri membentuk spora. Dalam bentuk spora berat toksin 20% dari berat badan spora. Apabila larva insek memakan spora maka di dalam alat pencernaan larva insek, spora bakteri dipecah dan keluarlah toksin. Toksin masuk ke dalam membran sel alat pencernaan larva, mengakibatkan alat pencernaan mengalami paralisis, pakan tidak dapat diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus thuringiensis kemudian diektrak dan dimurnikan maka akan diperoleh insektisida biologis (biopestisida) dalam bentuk kristal. Insektisida biologis serupa saja aplikasinya maupun untung ruginya dengan insektisida kimia lainnya. Oleh karena itu, pada tahun 1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus thuringiensis dengan kode gen Bt toksin (Feitelson et al, 1992).
Tanaman tembakau untuk pertama kali merupakan tanaman transgenic pertama yang menggunakan gen Bt toksin, disusul famili tembakau, yaitu tomat dan kentang. Dengan sinar ultraviolet gen penghasil insektisida pada tanaman dapat diinaktifkan (Lal and Lal, 1990). Jagung juga telah direkayasa dengan menggunakan gen Bt toksin, tetapi diintegrasikan dengan plasmid bakteri Salmonella parathypi, yang menghasilkan gen yang menonaktifkan ampicillin. Pada jagung juga direkayasa adanya resistensi herhisida dan resistensi insektisida sehingga tanaman transgenik jagung memiliki berbagai jenis resistensi hama tanaman. Bt toksin gen juga direkayasa ke tanaman kapas bahkan multiple-gene dapat direkayasa genetika pada tanaman transgenik. Toksin yang diproduksi dengan tanaman transgenik menjadi nonaktif apabila terkena sinar matahari, khususnya sinar ultraviolet (Sumber: Nottingham S, 1998).
Sejumlah tanaman transgenik toksin Bt telah berhasil diproduksi, antara lain kapas (Bt toksin terhadap cutton boll worm, produksi Monsanto, St. Louis, Missouri, Amerika Serikat; kini diuji coba secara terbatas di Sulawesi Selatan), kentang (Bt toksin terhadap Colorado bettle, produksi Mycogen, San Diego, California, Amerika Serikat), jagung (Bt toksin terhadap pengerek batang European, produksi Ciba Seed, Greensboro, California Utara, Amerika Serikat (Nasir, 2002).

• Tanaman Transgenik Resisten Penyakit
Dalam percobaan kloning “Bintje” yang mengandung gen thionin dari daun barli (DB4) yang memakai promoter 35S cauliflower mosaic virus (CaMV), dengan mengikutsertakan Bintje tipe liar yang sangat peka terhadap serangan Phytophthora infestans sebagai kontrol, menunjukkan bahwa klon “Bintje” dapat mengekspresikan gen DB4. Jumlah sporangium setiap nekrosa yang disebabkan oleh P. infestans mengalami penurunan lebih dari 55% jika dibandingkan dengan tipe liar. Pendekatan ini sangat bermanfaat untuk menekan perkembangbiakan P. infestans sehingga kerugian secara ekonomi dapat direduksi.
Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi pada usaha untuk memproduksi tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Dengan memasukkan gen penyandi protein selubung {coat protein) Johnsongrass mosaic potyvirus (JGMV) ke dalam suatu tanaman diharapkan tanaman tersebut menjadi resisten apabila diserang oleh virus yang bersangkutan. Potongan cDNA dari JGMV, misalnya dari protein selubung dan protein nuclear inclusion body (Nib) dengan kontrol promotor 35S CaMV, mampu diintegrasikan pada tanaman jagung dan diharapkan akan dihasilkan jagung transgenik yang bebas dari serangan virus.
Hal serupa juga sedang digalakkan dengan rekayasa genetika pada tanaman padi-padian untuk mendapatkan varietas yang resisten terhadap virus padi. Di samping itu, usaha untuk meningkatkan kualitas beras seperti yang diinginkan oleh manusia juga sedang diusahakan. Jepang memberikan investasi yang cukup besaruntuk penelitian dan pengembangan di bidang biologi molekul padi.
• Kultur jaringan
Juga tak kalah pentingnya teknologi kultur jaringan yang merupakan kemajuan besar dalam bidang pertanian. Kultur jaringan adalah pembuatan bibit dan perbanyakannya menggunakan permainan komposisi media. Yang digunakan bisa segala sumber organ tumbuhan mulai dari biji, daun, tunas, dsb jadi lebih luas dari teknologi pembibitan konvensial dengan stek. Yang dimanipulasi adalah sel penyusun organ itu untuk berubah menjadi tanaman sempurna melalui hormon-hormon dalam media yang digunakan. Jadi ini adalah bioteknologi tingkat tua, bukan bioteknologi modern.
Kultur jaringan tanaman merupakan teknik in vitro (dalam gelas) yang merupakan cara untuk memperbanyak tanaamn dengan pengambilan bagian tanaman yang mempunyai titik tumbuhnya. Contoh sederhana pada pisang, bila di ambil cambium atau ujun-ujung akarnya, lalau di perlakukan dalam gelas dalam laboratorium, kemudian bagian itu akan membelah sendiri dan setiap belahanya akan menghsilkan tanaman baru. Intinya asalakan pada tanaman itu ada titi tumbuh atau yang disebut jaringan meristematik, tanaman tersebut bias diperbanyak. Bayankan kalau ini sudah menyeluruh skala nasioanl perbanyak tanaman secara cepar mungkin saja dilakukan.

Tidak ada komentar: