Minggu, 26 Desember 2010

permasalahan tentang kelapa sawit



Tugas Individu

MAKALAH
BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN


Permasalahan dalam Ditribusi Produk Kelapa Sawit








Oleh

MUHAMAD RIDWAN
E 281 08 034














PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2010

I. PENDAHULUAN
Selama bertahun-tahun, kelapa sawit memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan salah satu komoditas andalan dalam menghasilkan devisa. Disamping memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap devisa negara, perannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2003, total devisa yang dihasilkan industri ini mencapai US$ 2,6 miliar atau 4,3% dari total ekspor Indonesia seluruhnya yang mencapai US$ 61 miliar2. Nilai ekspor ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibanding nilai ekspor 2002 yang mencapai US$ 2,35 miliar (4,11% terhadap total nilai ekspor seluruhnya), maupun nilai ekspor pada 2001 yang mencapai US$ 1,23 miliar (2,18% terhadap total nilai ekspor seluruhnya).
Diantara permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas tanaman, kurangnya dukungan riset/lembaga riset yang memadai untuk pengembangan produksi maupun produk turunannya, kurangnya promosi di pasar internasional, standarisasi dan sertifikasi bibit yang belum sempurna, terbatasnya pabrik pengolahan CPO, dan kurang berkembangnya industri hilir. Dari sisi pemerintah, selain belum memiliki program atau rencana pengembangan yang jelas dan terintegrasi di sub sector kelapa sawit, perannya dalam hal riset, promosi, pemasaran maupun akses ke Negara tujuan ekspor – sebagaimana dilakukan pemerintah Malaysia dengan sangat baik masih dirasakan kurang memadai. Persoalan lain adalah kurang banyaknya pelabuhan ekspor, serta kurang memadainya sarana dan prasarana dari pelabuhan yang ada.
Dari sisi eksternal banyaknya hambatan perdagangan yang dikenakan importir CPO terbesar dunia seperti India, Eropa dan Cina yang membuat aturan-aturan impor yang menyulitkan produsen, seperti bea masuk yang tinggi, pencantuman kandungan lemak jenuh dalam kemasan dan gencarnya promosi minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari sebagai pengganti CPO di negara-negara maju yang dapat mempengaruhi preferensi konsumen terhadap minyak sawit. Meskipun demikian, di sisi lain Indonesia juga memiliki banyak kelebihan dibanding Malaysia sehingga memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk meningkatkan pangsa pasarnya dimasa-masa mendatang, bahkan menggeser posisi Malaysia sebagai produsen CPO nomor satu dunia. Indonesia memiliki cadangan lahan perkebunan yang relatif masih sangat luas untuk perkebunan kelapa sawit yang diperkirakan mencapai lebih dari 9 juta hektar. Sebaliknya Malaysia mulai kehabisan lahan untuk melakukan ekstensifikasi sehingga satu-satunya cara meningkatkan produksi adalah dengan intensifikasi, atau melakukan ekspansi lahan ke luar Malaysia (dalam hal ini ke Indonesia). Kelebihan lainnya adalah biaya produksi kelapa sawit Indonesia yang relatif lebih murah dibanding Malaysia. Menurut catatan GAPKI, pada 1998 biaya produksi CPO Indonesia berkisar antara US$ 135,5 hingga US$ 203 per ton, jauh dibawah Malaysia yang berkisar antara US$ 206,5 hingga US$ 243,5 per ton. Karena itu, dengan pengelolaan yang lebih optimal, peluang Indonesia untuk meningkatkan produksi baik melalui intensifikasi maupun perluasan luas lahan masih sangat besar.


II. PERMASALAHAN
Saat ini, Indonesia merupakan produsen minyak sawit kedua terbesar dunia setelah Malaysia dengan total produksi 9,9 juta ton pada 2003. Padahal, bila dilihat dari potensi luas lahan dan sumberdaya manusia yang tersedia, Indonesia jauh lebih unggul dibanding Malaysia. Masih relatif rendahnya produksi kelapa sawit Indonesia disbanding Malaysia disebabkan berbagai permasalahan dan kurang optimalnya dukungan pemerintah. Diantara permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas tanaman, kurangnya dukungan riset/lembaga riset yang memadai untuk pengembangan produksi maupun produk turunannya, kurangnya promosi di pasar internasional, standarisasi dan sertifikasi bibit yang belum sempurna, terbatasnya pabrik pengolahan CPO, dan kurang berkembangnya industri hilir. Dari sisi pemerintah, selain belum memiliki program atau rencana pengembangan yang jelas dan terintegrasi di sub sektor kelapa sawit, perannya dalam hal riset, promosi, pemasaran maupun akses ke Negara tujuan ekspor – sebagaimana dilakukan pemerintah Malaysia dengan sangat baik masih dirasakan kurang memadai. Persoalan lain adalah kurang banyaknya pelabuhan ekspor, serta kurang memadainya sarana dan prasarana dari pelabuhan yang ada.




III. PEMBAHASAN
Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Pertumbuhan luas areal yang pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata lebih dari 200 ribu hektar setiap tahunnya.
Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5%.Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Pertumbuhan luas areal yang pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata lebih dari 200 ribu hektar setiap tahunnya. Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5%.Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta. Pertumbuhan luas areal yang pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata lebih dari 200 ribu hektar setiap tahunnya. Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5%.
Dilihat dari status kepemilikannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia terdiri dari Perkebunan Negara, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat. Pada 2000,perkebunan swasta menguasai 51% dari luas areal perkebunan, perkebunan Negara 16%, dan perkebunan rakyat 33%. Perkebunan rakyat terkonsentrasi pada 4 propinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Perkebunan milik Negara (PTP) terkonsentrasi di Sumatera Utara, dan perkebunan swasta terkonsentrasi di Riau, Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Selatan. Tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit Indonesia bervariasi menurut jenis pemilikan. Menurut Departemen Pertanian, pada umumnya tingkat produktivitas perkebunan rakyat paling rendah dibandingkan perkebunan negara dan perkebunan swasta. Diperkirakan, produktivitas perkebunan rakyat hanya mencapai rata-rata 2,5 ton CPO per ha dan 0,33 ton minyak inti sawit (PKO) per ha. Ini disebabkan kurangnya perawatan perkebunan tersebut. Sementara itu, perkebunan negara memiliki produktivitas tertinggi, yakni rata-rata menghasilkan 4,82 ton CPO per hektar dan 0,91 ton PKO per hektar. Sedangkan perkebunan swasta rata-rata menghasilkan 3,48 ton CPO per hektar dan 0,57 ton PKO per hektar.
Tingkat produktivitas rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga relative lebih rendah dibandingkan Malaysia. Menurut GAPKI, produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia baru mencapai angka 3.1 juta ton per hektar, sementara Malaysia telah mencapai 3.6 juta ton per hektar. Relatif rendahnya tingkat produktivitas kelapa sawit Indonesia diantaranya disebabkan sebagian besar tanaman masih muda usianya, tidak terpenuhinya baku kultur bibit, pencurian buah, serta kelangkaan pupuk dan tingginya harga pupuk.
Luas lahan yang tersedia untuk pengembangan kelapa sawit masih sangat luas. Pemerintah sendiri pada 2001 telah menyediakan 9,13 juta hektar di Indonesia bagian Timur untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Lokasi lahan yang disediakan terletak di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Maluku dan Sulawesi Tenggara. Dari luas lahan yang tersedia tersebut baru 2.79% atau 255 ribu hektar lahan yang telah dimanfaatkan. Hingga saat ini, terdapat tiga perusahaan penghasil benih kelapa sawit bersertifikat di Indonesia, yakni PT. London Sumatera Indonesia, PT. Socfindo, dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang berlokasi di Medan, dengan total kapasitas produksi 80 juta bibit sawit per tahun. Namun demikian, karena banyaknya jumlah bibit palsu yang beredar – Direktorat Jenderal Perkebunan memperkirakan jumlah bibit palsu mencapai 40% dari total bibit yang beredar – permintaan terhadap benih bersertifikasi cenderung menurun, khususnya dari perkebunan rakyat. Sebagai gambaran, pada 2001 penjualan benih kelapa swait bersertfikat mencapai 20,5 juta, namun pada 2002 merosot tajam menjadi 13,6 juta benih3. Sejalan dengan peningkatan luas areal, produksi CPO Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan selama lima tahun terakhir. Lonjakan produksi yang cukup tajam terjadi pada kurun waktu 1999-2001 yang meningkat dari 6 juta ton menjadi 9 juta ton. Produsen CPO terbesar adalah Sumatera Utara yang memberikan kontribusi lebih dari 4,5 juta ton CPO atau sekitar 50% dari total produksi CPO nasional. Saat ini terdapat enam pemain terbesar bisnis CPO yang menguasai lebih dari 50% areal perkebunan kelapa sawit, yakni PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) – yang terdiri dari 9 PTPN -- Sinar Mas, Raja Garuda Mas, Astra Agro Lestari, Minamas Plantation (Kelompok Guthrie Berhad asal Malaysia), dan Indofood Tbk.
Menurut National Distribution Network, saat ini terdapat sekitar 80 perusahaan penyulingan minyak goreng sawit di Indonesia yang tersebar di 11 propinsi di Sumatera, Jawa dan Kalimantan dengan total kapasitas produksi 7,79 juta ton per tahun. Sebesar 62% diantaranya (4,8 juta ton) dikuasai oleh 7 grup produsen yakni Hasil Karsa, MusimMas, Sinar Mas, Karya Prajona Nelayan, Raja Garuda Mas, dan Sungai Budi. Pada industri margarine dan shortening, CPO memberikan kontribusi sekitar 80% terhadap komponen bahan baku. Sementara pada industri sabun cuci CPO memberikan kontribusi sebesar 20% dan sabun mandi 80%. Pada saat ini terdapat paling tidak 17 industri margarine dan shortening di Indonesia. Meskipun penggunaan CPO untuk industri sabun masih relatif kecil, penggunaannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Produk oleochemical yang diolah dari CPO terdiri dari Fatty Acid, Fatty Alkohol, Glyserine dan Stearic Acid. Produk ini memiliki kegunaan yang sangat luas untuk berbagai industri, seperti pembuatan deterjen, personal care, farmasi, industri PVC, pelumas pada industri tekstil, dan lain-lain. Dibanding CPO, produk oleokimia memiliki Margarine, Oleohemical, 1.60% 6.80% Ekspor, 60% Sabun, 2% Minyak Goreng, 29.60% 6 nilai tambah lebih tinggi dan harga yang lebih stabil. Harga CPO berfluktuasi antara US$ 250 sampai dengan US$ 500 per ton, sedang harga produk oleokimia bisa mencapai hingga US$ 1000 per ton. Namun demikian, penggunaan CPO untuk industri ini masih relatif rendah (sekitar 6,8%) karena kurang berkembangnya industri ini di dalam negeri. Saat ini, menurut Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI), Indonesia baru memiliki 7 perusahaan oleochemical yang menggunakan 6,8% produksi CPOnya, dengan total produksi 609 ribu ton pada 2002. Bandingkan dengan Malaysia yang telah memiliki 22 pabrik oleochemical (dan telah merencanakan penambahan 19 buah pabrik lagi) dengan total produksi 1,7 juta ton per tahun – yang menggunakan 20% hasil CPOnya. Disamping itu, produk oleochemical di Indonesia masih berupa produk sampingan sedang di Malaysia sudah menjadi produk utama. Diantara perusahaan yang bergerak di bidang produk oleochemical adalah PT. Cisadane Raya Chemical, PT. Sumiasih Oleochemical, PT. Sinar Oleochemical (Sinar Mas Group), PT. Ecogreen Oleochemical, dan PT Flora Sawita Chemindo. Dimasa mendatang, konsumsi CPO di dalam negeri diperkirakan akan terus mengalami peningkatan dan mencapai 5,6 juta ton pada 2010. Penggunaan terbesar pada industri minyak goreng (51%), diikuti industri margarine dan shortening (37%), Oleochemical (8%), industri sabun mandi (3%) dan industri sabun cuci (1%).
Volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia cenderung meningkat sejak 1999 setelah mengalami penurunan yang cukup tajam pada 1998. Pada 2003, volume ekspor mencapai 6,38 juta ton, meningkat 136% dibanding 1999 yang mencapai 3,3 juta ton. Ini diikuti peningkatan nilai ekspor sebesar 93%, yakni dari US$ 1,1 miliar menjadi US$ 2,6 miliar. Ekspor minyak sawit Indonesia ditujukan ke 123 negara. Pada 2002, volume ekspor terbesar ke India dengan kontribusi 28% (1,8 juta ton), diikuti Belanda 17% (1,1 juta ton), Cina 8% (483 ribu ton), dan Malaysia serta Singapura masing-masing sebesar 6%. Kelima negara ini secara bersama-sama menyerap sekitar 65% dari total ekspor minyak kelapa sawit Indonesia. Pada 2004, ekspor ke India diperkirakan akan menurun, karena adanya ketentuan Pemerintah India yang mensyaratkan kandungan betta carotene minimal 500 part per million (ppm) , sedang kandungan betta carotene CPO dari Indonesia sekitar 450 ppm. Persyaratan tersebut menyebabkan banyaknya CPO yang tertahan di pelabuhan. Namun, pada tahun berikutnya diharapkan ekspor ke India kembali meningkat menyusul 7 ditundanya pemberlakuan ketentuan tersebut oleh pemerintah India setelah pemerintah RI meminta klarifikasi dan penjelasan mengenai kebijakan tersebut. Sebaliknya, peluang ekspor ke Cina pada 2004 diperkirakan meningkat sekitar 10 hingga 15%. Dengan konsumsi minyak goreng per kapita 10-12 kg per tahun, dan jumlah penduduk 1,4 milyar jiwa, kebutuhan minyak goreng Cina diperkirakan mencapai 14 juta ton setiap tahunnya. Jumlah tersebut belum termasuk untuk keperluan industri. Saat ini, sebagian besar kebutuhan minyak sawit Cina dipasok dari Malaysia. Total ekspor Indonesia ke Cina pada 2004 ditargetkan mencapai 600 ribu ton. Harga CPO di pasar internasional sangat berfluktuasi. Pada 1999 misalnya, harga CPO melonjak hingga US$ 700 per ton, namun kembali merosot tajam pada 2001 menjadi US$ 276 per ton. Sementara pada 2004, harga CPO cenderung meningkat dengan harga yang cukup menggairahkan, berkisar pada US$ 400 hingga US$ 550 per ton. Ini disebabkan menurunnya produksi minyak kedelai, tingginya tingkat permintaan dari Cina dan India, serta produksi minyak sawit Malaysia yang cenderung flat. Pada 2010, diperkirakan volume ekspor CPO Indonesia akan mencapai 4,5 juta ton, sedangkan ekspor turunan lainnya mencapai 5,6 juta ton sehingga proyeksi kebutuhan CPO untuk ekspor pada tahun 2010 adalah 10,1 juta ton.












DAFTAR PUSTAKA
Prasetyani Martha dan Miranti Ermina. 2009. Potensi dan Prospek Bisnis Kelapa Sawit Indonesia. http://serikatpetanikelapasawit.blogspot.com/2009/10/potensi.html. Diakses Kamis, 16 Desember 2010

Anonim. 2009. Sawit Masih Terjebak Masalah Klasik. bataviase.co.id/content/sawit. Diakses Kamis, 16 Desember 2010

Tidak ada komentar: